Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah
bin Abdur Rahman al-Banjari (atau
lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (lahir di Lok Gabang,
17 Maret 1710 – meninggal
di Dalam
Pagar, 3 Oktober 1812
pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H) adalah ulama fiqih
mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Beliau
hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah.
Beliau adalah pengarang Kitab Sabilal
Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama
Islam di Asia Tenggara.
]
Silsilah keturunan
Beberapa penulis biografi Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti
Kerajaan Indragiri
Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid
Mindanao.
Jalur nasabnya ialah Maulana
Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid
Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin
Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk
seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf
bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih
Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib
Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah
bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam
Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq
bin Al Imam Muhammad Al Baqir
bin Al Imam Ali Zainal Abidin
bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam
Amirul Mu’minin Ali Karamallah
wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra
binti Rasulullah SAW.
Riwayat
Masa kecil
Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah
(1700 - 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung
ke kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia
sekitar 7 tahun sedang asyik menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas dan
berbakat, dicerita-kan pula bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan
indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya
agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan
anak-anak dan cucu Sultan.
Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai
30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.
Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah.
Ketika istrinya mengandung anak yang
pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk
menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah
hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat
usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci
sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat
restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan
cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad
mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru beliau
adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin
Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman
al-Hasani al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir
adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah
Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya
dengan kedudukan sebagai khalifah.
Setelah lebih kurang 35 tahun
menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk
mata indahnya tepian mandi yang di arak barisan pepohonan aren yang menjulang.
Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya
rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti
tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H
bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di
kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan
Banjar pada masa itu.
Akan tetapi, Sultan Tahlilullah,
seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan
Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah.
Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian
terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan
upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang
ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh
Kesultanan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan
untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga,
kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah
seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’[5]. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak
dari tujuh isterinya. [6]
Hubungan
dengan Kesultanan Banjar
Pada waktu ia berumur sekitar 30
tahun, Sultan mengabulkan keinginannya untuk belajar ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya
ditanggung oleh Sultan. Lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu setelah gurunya
menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali
pulang ke Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah
banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah.
Sultan Tahmidullah II yang pada
ketika itu memerintah Kesultanan Banjar,
sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di
kerajaannya. Sultan inilah yang meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad agar
menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh),
yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.
Pengajaran
dan bermasyarakat
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan.
Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya
ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar,
yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut
ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki
tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan
dari suraunya di Desa Dalam
Pagar.
Di samping mendidik, ia juga menulis
beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan
kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin
yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu,
tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan
bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan
dasar Negara Brunai Darussalam.
Karya-karyanya
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad
yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah
Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam
terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk
untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis
untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah
lainnya, diantaranya ialah:
- Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
- Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
- Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
- Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.
Dari beberapa risalahnya dan
beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya
kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat
syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk
mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga
menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arsyad_al-Banjari
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arsyad_al-Banjari