Empat tahun telah berlalu. Aku
harus kembali ke kota
kelahiranku. Janjiku pada Ayah dan Ibu sudah kutepati, bahwa aku akan
menyelesaikan SMU-ku di Yogya dengan hasil gemilang, bukan
seperti saat SLTP dulu. Berbagai macam pelanggaran kulakukan, saat itu, membuatku terpaksa diungsikan ke kota Mbakyu Nina, demi
masa depanku, demikian kata mereka. Sebenarnya, itu tak perlu, sebab aku sudah menyadari segala kesalahanku, tapi bersiap untuk memperbaikinya, namun semua sudah terlambat.
Mereka sudah memesan tiket pesawat untukku. Membuatku harus meninggalkan semua teman sejak masa kecilku, dan juga Sita, yang bisa dibilang my soul saver. Sita yang nggak pernah bosan- bosannya ngingetin aku bahwa ngerokok itu nggak baik, yang nggak pernah bosan nemenin aku meski aku lagi teler berat akibat terlalu banyak nenggak minuman beralkohol.
Sita yang selalu ngomong bahwa aku masih SLTP. Sita yang kakak kelasku, jauh di atasku. Dia kukenal saat aku bolos sekolah, dan terpaksa sembunyi di kantin SMU-nya yang hanya dipisahkan oleh tembok pagar setinggi dua meter dari SLTP tempat aku menuntut ilmu. Saat itu aku baru kelas 2 SLTP, dan Sita kelas 2 SMU.
Badanku yang memang tinggi besar bisa mengecoh cewek-cewek, kalau aku lagi nggak make seragam putih biru.
“Hei… kamu lagi ngapain jongkok di situ?!” Aku masih ingat bener ucapan Sita pertama kali saat kami ketemu. Aku sedang dikejar
satpam sekolah yang tanpa sengaja melihatku tengah memanjati pagar untuk kabur dari pelajaran Matematika yang sangat kubenci.
“Anuuu…..” aku tak tahu harus menjawab apa. Sudah aku kelihatan
bego sedang jongkok di bawah meja makan kantin, dipelototin pula
sama cewek cakep!!
“Pasti dikejar satpam sekolah kamu, ya?” katanya lagi. Namun, saat satpam sekolahku tiba di situ, dan bertanya apakah ada anak
SLTP yang ke situ, Sita hanya menggelengkan kepalanya, cuek.
“Kok nggak ngasih tahu bahwa aku di sini sama satpam?” tanyaku heran.
“Nggak kenapa-kenapa, aku nggak suka satpam sekolah kamu itu. Sok galak!” jawabnya enteng. Sialan! Aku udah geer dari tadi, kirain
dia suka aku, taunya...
seperti saat SLTP dulu. Berbagai macam pelanggaran kulakukan, saat itu, membuatku terpaksa diungsikan ke kota Mbakyu Nina, demi
masa depanku, demikian kata mereka. Sebenarnya, itu tak perlu, sebab aku sudah menyadari segala kesalahanku, tapi bersiap untuk memperbaikinya, namun semua sudah terlambat.
Mereka sudah memesan tiket pesawat untukku. Membuatku harus meninggalkan semua teman sejak masa kecilku, dan juga Sita, yang bisa dibilang my soul saver. Sita yang nggak pernah bosan- bosannya ngingetin aku bahwa ngerokok itu nggak baik, yang nggak pernah bosan nemenin aku meski aku lagi teler berat akibat terlalu banyak nenggak minuman beralkohol.
Sita yang selalu ngomong bahwa aku masih SLTP. Sita yang kakak kelasku, jauh di atasku. Dia kukenal saat aku bolos sekolah, dan terpaksa sembunyi di kantin SMU-nya yang hanya dipisahkan oleh tembok pagar setinggi dua meter dari SLTP tempat aku menuntut ilmu. Saat itu aku baru kelas 2 SLTP, dan Sita kelas 2 SMU.
Badanku yang memang tinggi besar bisa mengecoh cewek-cewek, kalau aku lagi nggak make seragam putih biru.
“Hei… kamu lagi ngapain jongkok di situ?!” Aku masih ingat bener ucapan Sita pertama kali saat kami ketemu. Aku sedang dikejar
satpam sekolah yang tanpa sengaja melihatku tengah memanjati pagar untuk kabur dari pelajaran Matematika yang sangat kubenci.
“Anuuu…..” aku tak tahu harus menjawab apa. Sudah aku kelihatan
bego sedang jongkok di bawah meja makan kantin, dipelototin pula
sama cewek cakep!!
“Pasti dikejar satpam sekolah kamu, ya?” katanya lagi. Namun, saat satpam sekolahku tiba di situ, dan bertanya apakah ada anak
SLTP yang ke situ, Sita hanya menggelengkan kepalanya, cuek.
“Kok nggak ngasih tahu bahwa aku di sini sama satpam?” tanyaku heran.
“Nggak kenapa-kenapa, aku nggak suka satpam sekolah kamu itu. Sok galak!” jawabnya enteng. Sialan! Aku udah geer dari tadi, kirain
dia suka aku, taunya...
1
“ Eh, Kak.... siapa sih namanya?”
“Sita,” jawabnya tanpa menghentikan acara nyapu lantainya
“Kak Sita, tengkyu ya... aku cabut dulu!” Aku lalu beranjak pergi, keluar dari sekolah Sita lewat parit yang menghubungkan sekolah itu dengan sebuah pusat pertokoan.
Sebenarnya, pergaulanku mulai nggak bener setelah aku kenal anak-anak geng Texas. Mereka adalah kumpulan anak putus sekolah yang berusia seperti aku, ada juga beberapa yang sedikit lebih tua di atasku. Kerjanya tiap hari hanya malakin anak-anak SLTP, juga SMU, untuk membeli minuman keras.
Pertemuan keduaku dengan Sita saat aku tengah ngeceng sambil cuci mata di pusat pertokoan. Dia kelihatan manis dan cantik tanpa seragam SMU-nya. Aku yang self confidence-nya jadi 2.000 persen tanpa seragam SLTP langsung menghampiri Sita, yang tengah asyik melihat-lihat buku bacaan.
“Hai....” sapaku sok kenal. Dia menatapku, pangling.
“Hai juga.... sorry, kamu siapa, ya?” tanya dia heran. Aku langsung memasang senyum termanis yang kumiliki, lalu berjalan lebih mendekat ke arah gadis itu.
“Aku yang kamu bantu kemarin, saat dikejar satpam itu.....” kataku.
Dia mengernyitkan dahinya, perlahan-lahan raut wajahnya membeku. Sita lalu menjawab dingin, “Oh.... yang itu...?” Tanpa permisi,
gadis itu lalu membalikkan badannya meninggalkan aku, yang kaget melihat perubahan sikapnya.
“Eh.... Kak Sita.... namaku Fandy...” Aku mengekor di belakangnya.
“Siapa yang nanya?!” balasnya ketus, membuatku kaget setengah mati. Bukannya mau sombong, tapi wajahku bisa dibilang keren.
Kata temen-temen cewek, aku agak-agak mirip dengan Steve Emmanuel, si pemain sinetron yang digandrungi cewek-cewek se-Indonesia. Ngebentak kayak gini, terang aja artinya merendahkan ketampananku. Kucoba untuk memasang jurus lain.
“Kak.... aku cuma mau bilang makasih lagi, untuk yang kemarin itu, lho!” Aku masih mengekor di belakang Sita, yang tak menghentikan langkahnya.
“Sita,” jawabnya tanpa menghentikan acara nyapu lantainya
“Kak Sita, tengkyu ya... aku cabut dulu!” Aku lalu beranjak pergi, keluar dari sekolah Sita lewat parit yang menghubungkan sekolah itu dengan sebuah pusat pertokoan.
Sebenarnya, pergaulanku mulai nggak bener setelah aku kenal anak-anak geng Texas. Mereka adalah kumpulan anak putus sekolah yang berusia seperti aku, ada juga beberapa yang sedikit lebih tua di atasku. Kerjanya tiap hari hanya malakin anak-anak SLTP, juga SMU, untuk membeli minuman keras.
Pertemuan keduaku dengan Sita saat aku tengah ngeceng sambil cuci mata di pusat pertokoan. Dia kelihatan manis dan cantik tanpa seragam SMU-nya. Aku yang self confidence-nya jadi 2.000 persen tanpa seragam SLTP langsung menghampiri Sita, yang tengah asyik melihat-lihat buku bacaan.
“Hai....” sapaku sok kenal. Dia menatapku, pangling.
“Hai juga.... sorry, kamu siapa, ya?” tanya dia heran. Aku langsung memasang senyum termanis yang kumiliki, lalu berjalan lebih mendekat ke arah gadis itu.
“Aku yang kamu bantu kemarin, saat dikejar satpam itu.....” kataku.
Dia mengernyitkan dahinya, perlahan-lahan raut wajahnya membeku. Sita lalu menjawab dingin, “Oh.... yang itu...?” Tanpa permisi,
gadis itu lalu membalikkan badannya meninggalkan aku, yang kaget melihat perubahan sikapnya.
“Eh.... Kak Sita.... namaku Fandy...” Aku mengekor di belakangnya.
“Siapa yang nanya?!” balasnya ketus, membuatku kaget setengah mati. Bukannya mau sombong, tapi wajahku bisa dibilang keren.
Kata temen-temen cewek, aku agak-agak mirip dengan Steve Emmanuel, si pemain sinetron yang digandrungi cewek-cewek se-Indonesia. Ngebentak kayak gini, terang aja artinya merendahkan ketampananku. Kucoba untuk memasang jurus lain.
“Kak.... aku cuma mau bilang makasih lagi, untuk yang kemarin itu, lho!” Aku masih mengekor di belakang Sita, yang tak menghentikan langkahnya.
2
Kan kemarin
itu, sudah... mau apa lagi? Daripada ngegangguin orang, mending kamu pulang aja
ke rumahmu, belajar, dan tidur, setelah sebelumnya minum susu!” tambah Sita
dengan nada meremehkan.
“Kurang ajar sekali gadis ini, mentang-mentang anak SMU, mandang rendah cowok SLTP!” Aku bersungut-sungut dalam hati.
Namun aku akhirnya memutuskan untuk menjauh dari gadis macan itu. Lusanya, saat keluar dari sekolah, aku ketemu Sita lagi.
Dia sedang menunggu oplet. Kuputuskan untuk menyapanya lagi. Memang, sejak pertemuan keduaku dengan si cantik yang galak itu,
aku jadi mikirin dia terus. Bahkan, aku sudah nggak tertarik lagi pada Lidya, gadis imut anak kelas dua yang kelasnya sebelahan dengan kelasku.
“Siang, Kak....” sapaku dengan nada yang kubuat sesopan mungkin
“Siang.....” Dia hanya menjawab dingin, tanpa menatap aku sedikit pun.
“Lagi nunggu oplet, Kak?” aku mencoba mencairkan suasana.
“Nggak, lagi nunggu truk sampah!” Kali ini dia menjawab judes.
“Ditanya baik-baik, kok ngomongnya kayak gitu sih, Kak?” Aku mulai kesal juga dengan kelakuannya.
“Emang kamu nggak ada kerjaan lain? Sana pulang, sok gede kamu!” bentaknya, membuatku kaget setengah mati. Memang ini mungkin merupakan pertemuan yang tidak berkesan, Namun, pertemuan berikutnyalah yang membuat aku jadi dekat dengannya. Pertemuan dalam situasi yang sebenarnya tak begitu menyenangkan. Saat itu, aku baru saja dari markas tempat aku dan geng Texas-ku biasa ngumpul. Dengan sempoyongan dan mata setengah tertutup, aku berjalan ke arah pusat kota, untuk menunggu angkot yang akan membawaku pulang ke rumah. Seperti biasa, aku tak lagi berpakaian putih-biru, namun sudah berganti baju biasa. Kalau dilihat sekilas, gayaku kayak anak kuliahan saja.
Pandangan mataku yang kini melihat semuanya sudah menjadi dua,
“Kurang ajar sekali gadis ini, mentang-mentang anak SMU, mandang rendah cowok SLTP!” Aku bersungut-sungut dalam hati.
Namun aku akhirnya memutuskan untuk menjauh dari gadis macan itu. Lusanya, saat keluar dari sekolah, aku ketemu Sita lagi.
Dia sedang menunggu oplet. Kuputuskan untuk menyapanya lagi. Memang, sejak pertemuan keduaku dengan si cantik yang galak itu,
aku jadi mikirin dia terus. Bahkan, aku sudah nggak tertarik lagi pada Lidya, gadis imut anak kelas dua yang kelasnya sebelahan dengan kelasku.
“Siang, Kak....” sapaku dengan nada yang kubuat sesopan mungkin
“Siang.....” Dia hanya menjawab dingin, tanpa menatap aku sedikit pun.
“Lagi nunggu oplet, Kak?” aku mencoba mencairkan suasana.
“Nggak, lagi nunggu truk sampah!” Kali ini dia menjawab judes.
“Ditanya baik-baik, kok ngomongnya kayak gitu sih, Kak?” Aku mulai kesal juga dengan kelakuannya.
“Emang kamu nggak ada kerjaan lain? Sana pulang, sok gede kamu!” bentaknya, membuatku kaget setengah mati. Memang ini mungkin merupakan pertemuan yang tidak berkesan, Namun, pertemuan berikutnyalah yang membuat aku jadi dekat dengannya. Pertemuan dalam situasi yang sebenarnya tak begitu menyenangkan. Saat itu, aku baru saja dari markas tempat aku dan geng Texas-ku biasa ngumpul. Dengan sempoyongan dan mata setengah tertutup, aku berjalan ke arah pusat kota, untuk menunggu angkot yang akan membawaku pulang ke rumah. Seperti biasa, aku tak lagi berpakaian putih-biru, namun sudah berganti baju biasa. Kalau dilihat sekilas, gayaku kayak anak kuliahan saja.
Pandangan mataku yang kini melihat semuanya sudah menjadi dua,
3
membuat aku agak kesulitan untuk
berjalan. Akhirnya, setelah sukses menabrak pagar sebuah restoran, aku langsung
terjerembab ke sebuah parit di dekat situ.
“Ya ampun, Fandy.....” Terdengar sebuah suara prihatin. Lalu kurasakan seseorang memegang tanganku, mencoba menolong aku untuk bangkit. Perlahan kubuka mataku yang terasa berton-ton beratnya.
“He... he... he... ada dua Kak Sita....” kataku asal.
“Kamu kenapa, sih? Kecil-kecil udah belajar mabuk, Fandy.....”
Gadis itu lalu memapahku ke arah sebuah bangku di sudut taman yang berada di sebelah restoran.
“Fandy.... ya ampun, apa kata orangtuamu bila mereka melihat keadaan kamu seperti ini?” Sita mengambil saputangannya, lalu membersihkan debu-debu di bajuku.
Mungkin karena pengaruh alkohol dalam darahku, tiba-tiba saja mulutku mulai menyerocos. Dan, aku lalu mulai ngomong tentang diriku yang merasa kesepian di rumah, tentang absennya kedua
orangtuaku secara rutin. Tentang aku, anak semata wayang yang rindu perhatian dari mereka. Hingga aku selesai ngomong, hari sudah mulai gelap. Sita masih dengan sabar duduk di sampingku,
mendengar semua keluhanku.
“Fan, kamu mau nggak nemenin Kak Sita nonton besok?” tanya dia.
Aku langsung mengangguk mengiyakan. Dia tak berkomentar sedikit pun setelah aku mengisahkan jalan hidupku.
Esoknya, seusai nonton, kami berdua lalu berjalan ke arah pantai, dan duduk di sana. Dan, setelah itu mungkin itulah yang dinamakan cinta.
Seminggu setelah itu, kami menjadi tak terpisahkan, ke mana-mana selalu saja berdua. Dan, pelan namun pasti aku pun lalu meninggalkan kebiasaan burukku, dan akhirnya memutuskan hubungan dengan geng Texas itu. Celakanya, ternyata kelakuanku selama ini tengah disoroti Ibu Kepala Sekolah, yang kemudian mengirimkan
surat panggilan orangtua yang dicuekin ayah dan ibuku, kemudian disusul surat peringatan, yang akhirnya diterima Ibu. Ibuku langsung mencak-mencak saat membaca surat peringatan itu,
“Ya ampun, Fandy.....” Terdengar sebuah suara prihatin. Lalu kurasakan seseorang memegang tanganku, mencoba menolong aku untuk bangkit. Perlahan kubuka mataku yang terasa berton-ton beratnya.
“He... he... he... ada dua Kak Sita....” kataku asal.
“Kamu kenapa, sih? Kecil-kecil udah belajar mabuk, Fandy.....”
Gadis itu lalu memapahku ke arah sebuah bangku di sudut taman yang berada di sebelah restoran.
“Fandy.... ya ampun, apa kata orangtuamu bila mereka melihat keadaan kamu seperti ini?” Sita mengambil saputangannya, lalu membersihkan debu-debu di bajuku.
Mungkin karena pengaruh alkohol dalam darahku, tiba-tiba saja mulutku mulai menyerocos. Dan, aku lalu mulai ngomong tentang diriku yang merasa kesepian di rumah, tentang absennya kedua
orangtuaku secara rutin. Tentang aku, anak semata wayang yang rindu perhatian dari mereka. Hingga aku selesai ngomong, hari sudah mulai gelap. Sita masih dengan sabar duduk di sampingku,
mendengar semua keluhanku.
“Fan, kamu mau nggak nemenin Kak Sita nonton besok?” tanya dia.
Aku langsung mengangguk mengiyakan. Dia tak berkomentar sedikit pun setelah aku mengisahkan jalan hidupku.
Esoknya, seusai nonton, kami berdua lalu berjalan ke arah pantai, dan duduk di sana. Dan, setelah itu mungkin itulah yang dinamakan cinta.
Seminggu setelah itu, kami menjadi tak terpisahkan, ke mana-mana selalu saja berdua. Dan, pelan namun pasti aku pun lalu meninggalkan kebiasaan burukku, dan akhirnya memutuskan hubungan dengan geng Texas itu. Celakanya, ternyata kelakuanku selama ini tengah disoroti Ibu Kepala Sekolah, yang kemudian mengirimkan
surat panggilan orangtua yang dicuekin ayah dan ibuku, kemudian disusul surat peringatan, yang akhirnya diterima Ibu. Ibuku langsung mencak-mencak saat membaca surat peringatan itu,
4
sedangkan Ayah, dia langsung
mengambil keputusan untuk mengirimku sekolah ke Yogya, ke tempat sepupuku,
Mbakyu Nina.
“Sita... aku mau ngomong sesuatu ama kamu.” Mulutku terasa kelu untuk berkata-kata. Kami berdua tengah berjalan bersisian seusai pulang sekolah.
“Ngomong aja, Fan...”
“Ehmm.... aku akan berangkat ke Yogya....” balasku pelan. Aku takut dia akan kecewa.
“Oh ya? Kapan berangkatnya? Lama nggak di sana?” tanya Sita
antusias. Hatiku mulai terasa seperti diiris-iris silet, perih.
“Minggu depan, aku hendak diungsikan ke sana oleh Ayah dan Ibu,
gara-gara ulahku di sekolah yang ugal-ugalan kemaren-kemaren
itu....” Kurasa ada air mata yang mulai menggenangi kedua bola mataku. Sita menatapku sedih, namun dia hanya berkata lembut,
“Tapi, kamu akan kembali untuk aku, kan?”
Aku menatapnya lembut. Mungkin terlalu kecil usiaku untuk mendefinisikan arti cinta. Namun aku tahu, aku cinta Sita, malaikat yang membawa aku kembali ke jalan yang benar.
“Aku harus sekolah di sana, hingga SMU. Nanti, kalau sudah hendak kuliah, aku baru boleh pulang ke sini,” kataku pedih.
“Namun kamu akan kembali untukku, kan?” desak Sita lagi. Kutatapi wajah lembut namun tegar itu, lalu kuanggukkan kepalaku dengan pasti. Aku tak perlu lagi kata-kata untuk berjanji. Namun aku
tahu, aku akan kembali untuk Sita. Itu akan menjadi janjiku di hati, janji yang pasti, seperti janji matahari. Akan bersinar keesokan hari, dan memang selalu ditepati.
“Fan, koper-kopermu udah siap?” Sebuah suara lembut menegurku dari arah pintu kamar. Mbakyu Nina sudah berdiri di sana. Kelihatan banget, sepupuku itu merasa sedih atas kepergianku besok.
“Udah, Mbakyu.... terima kasih untuk semuanya, ya....” Kupeluk sepupuku itu erat-erat. Sedih juga berpisah setelah sekian lama
aku diurus mbakyuku yang baik hati itu.
Saat aku tiba di kota kelahiranku, banyak yang sudah berubah. Walaupun aku rajin mengikuti perkembangan kota kelahiran tercinta itu lewat internet, memandangi semuanya secara langsung
tetap saja membuat aku terheran-heran. Ah.... rasanya tak sabar untuk bertemu Sita. Saat aku berada di Yogya, kami berdua tak pernah absen untuk bertukar kabar lewat e-mail.
“Sita... aku mau ngomong sesuatu ama kamu.” Mulutku terasa kelu untuk berkata-kata. Kami berdua tengah berjalan bersisian seusai pulang sekolah.
“Ngomong aja, Fan...”
“Ehmm.... aku akan berangkat ke Yogya....” balasku pelan. Aku takut dia akan kecewa.
“Oh ya? Kapan berangkatnya? Lama nggak di sana?” tanya Sita
antusias. Hatiku mulai terasa seperti diiris-iris silet, perih.
“Minggu depan, aku hendak diungsikan ke sana oleh Ayah dan Ibu,
gara-gara ulahku di sekolah yang ugal-ugalan kemaren-kemaren
itu....” Kurasa ada air mata yang mulai menggenangi kedua bola mataku. Sita menatapku sedih, namun dia hanya berkata lembut,
“Tapi, kamu akan kembali untuk aku, kan?”
Aku menatapnya lembut. Mungkin terlalu kecil usiaku untuk mendefinisikan arti cinta. Namun aku tahu, aku cinta Sita, malaikat yang membawa aku kembali ke jalan yang benar.
“Aku harus sekolah di sana, hingga SMU. Nanti, kalau sudah hendak kuliah, aku baru boleh pulang ke sini,” kataku pedih.
“Namun kamu akan kembali untukku, kan?” desak Sita lagi. Kutatapi wajah lembut namun tegar itu, lalu kuanggukkan kepalaku dengan pasti. Aku tak perlu lagi kata-kata untuk berjanji. Namun aku
tahu, aku akan kembali untuk Sita. Itu akan menjadi janjiku di hati, janji yang pasti, seperti janji matahari. Akan bersinar keesokan hari, dan memang selalu ditepati.
“Fan, koper-kopermu udah siap?” Sebuah suara lembut menegurku dari arah pintu kamar. Mbakyu Nina sudah berdiri di sana. Kelihatan banget, sepupuku itu merasa sedih atas kepergianku besok.
“Udah, Mbakyu.... terima kasih untuk semuanya, ya....” Kupeluk sepupuku itu erat-erat. Sedih juga berpisah setelah sekian lama
aku diurus mbakyuku yang baik hati itu.
Saat aku tiba di kota kelahiranku, banyak yang sudah berubah. Walaupun aku rajin mengikuti perkembangan kota kelahiran tercinta itu lewat internet, memandangi semuanya secara langsung
tetap saja membuat aku terheran-heran. Ah.... rasanya tak sabar untuk bertemu Sita. Saat aku berada di Yogya, kami berdua tak pernah absen untuk bertukar kabar lewat e-mail.
5
Dia tahu aku akan datang, karena
aku sudah memberi tahu dia,
sebulan sebelum aku pulang. Entah apa pendapatnya, karena setelah
itu aku belum sempat membuka e-mail box-ku karena sibuk. Namun aku yakin, dia akan gembira melihat aku.
Setelah say hello pada seluruh anggota keluargaku, aku bergegas meninggalkan mereka yang mulai ribut membongkar koper-koper untuk
mencari oleh-oleh, menuju rumah Sita.
Teras rumahnya nampak lengang. Masih belum ada yang berubah, kecuali bunga-bunga anggrek koleksi Sita yang kelihatan jadi lebih banyak. Dengan perasaan yang sukar untuk kulukiskan,
kupencet bel rumahnya.Pintu nampak mulai dibuka, dan sebuah sosok asing yang tak kukenal muncul di hadapanku. Seorang laki-laki.
“Cari siapa, ya?” tanya laki-laki itu.
“Sita ada?” tanyaku pelan. Berbagai pertanyaan mulai merasuki benakku, tentang laki-laki itu, dan keberadaannya di rumah Sita.
“Ada... silahkan masuk...”
Aku lalu memasuki rumah mungil yang indah itu.
“Sita.... ada yang nyari kamu.....!” Laki-laki itu berteriak memanggil, sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh menuju ke arah ruang tamu.
“Fandy..........!!” Sita nampak terkejut melihatku. Aku langsung menuju ke arahnya, lalu mendaratkan sebuah kecupan manis di pipi kanan gadis yang nampak agak kurusan itu. Dia kelihatan salah tingkah. Aku jadi heran melihat kelakuannya.
“Arman.... kenalkan, ini Fandy, yang sering kuceritakan itu,
lho!” Sita memperkenalkan laki-laki itu. Aku lalu berbalik dan
menjabat tangannya.
“Aku Arman, tunangan Sita. Bulan depan kami akan menikah, seusai wisudanya....”
Ucapan laki-laki itu seketika seakan menghentikan detak
jantungku. Aku rasanya ingin berteriak, rasanya sakit sekali.
Namun aku hanya berucap pelan, “Aku baru sampai dari Yogya, kebetulan lewat dan aku mampir untuk say hello sama Kak Sita, aku pergi dulu ya? Sudah ditungguin di rumah, nih!” Aku kembali
memanggilnya “Kak” sekedar mengisyaratkan dia bahwa aku sudah mengerti apa yang telah terjadi.
Saat melangkah keluar dari rumah Sita, aku merasa bahwa ada yang tertinggal di sana, mungkin hatiku. Aku kecewa, padahal aku sudah
berjanji akan kembali untuknya, dan kutepati janjiku itu.Padahal, tak mudah untuk menghindar dari godaan-godaan saat aku sekolah di Yogya, namun aku berhasil melewati semua itu, hanya
untuk satu alasan: Sita. Namun, hanya aku yang menepati janjiku. Karena janji Sita untuk menungguku tak seperti janji matahari, dia mengingkari semuanya............
sebulan sebelum aku pulang. Entah apa pendapatnya, karena setelah
itu aku belum sempat membuka e-mail box-ku karena sibuk. Namun aku yakin, dia akan gembira melihat aku.
Setelah say hello pada seluruh anggota keluargaku, aku bergegas meninggalkan mereka yang mulai ribut membongkar koper-koper untuk
mencari oleh-oleh, menuju rumah Sita.
Teras rumahnya nampak lengang. Masih belum ada yang berubah, kecuali bunga-bunga anggrek koleksi Sita yang kelihatan jadi lebih banyak. Dengan perasaan yang sukar untuk kulukiskan,
kupencet bel rumahnya.Pintu nampak mulai dibuka, dan sebuah sosok asing yang tak kukenal muncul di hadapanku. Seorang laki-laki.
“Cari siapa, ya?” tanya laki-laki itu.
“Sita ada?” tanyaku pelan. Berbagai pertanyaan mulai merasuki benakku, tentang laki-laki itu, dan keberadaannya di rumah Sita.
“Ada... silahkan masuk...”
Aku lalu memasuki rumah mungil yang indah itu.
“Sita.... ada yang nyari kamu.....!” Laki-laki itu berteriak memanggil, sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh menuju ke arah ruang tamu.
“Fandy..........!!” Sita nampak terkejut melihatku. Aku langsung menuju ke arahnya, lalu mendaratkan sebuah kecupan manis di pipi kanan gadis yang nampak agak kurusan itu. Dia kelihatan salah tingkah. Aku jadi heran melihat kelakuannya.
“Arman.... kenalkan, ini Fandy, yang sering kuceritakan itu,
lho!” Sita memperkenalkan laki-laki itu. Aku lalu berbalik dan
menjabat tangannya.
“Aku Arman, tunangan Sita. Bulan depan kami akan menikah, seusai wisudanya....”
Ucapan laki-laki itu seketika seakan menghentikan detak
jantungku. Aku rasanya ingin berteriak, rasanya sakit sekali.
Namun aku hanya berucap pelan, “Aku baru sampai dari Yogya, kebetulan lewat dan aku mampir untuk say hello sama Kak Sita, aku pergi dulu ya? Sudah ditungguin di rumah, nih!” Aku kembali
memanggilnya “Kak” sekedar mengisyaratkan dia bahwa aku sudah mengerti apa yang telah terjadi.
Saat melangkah keluar dari rumah Sita, aku merasa bahwa ada yang tertinggal di sana, mungkin hatiku. Aku kecewa, padahal aku sudah
berjanji akan kembali untuknya, dan kutepati janjiku itu.Padahal, tak mudah untuk menghindar dari godaan-godaan saat aku sekolah di Yogya, namun aku berhasil melewati semua itu, hanya
untuk satu alasan: Sita. Namun, hanya aku yang menepati janjiku. Karena janji Sita untuk menungguku tak seperti janji matahari, dia mengingkari semuanya............